Liputan6.com, Jakarta Inspektur Jenderal Teddy Minahasa divonis penjara seumur hidup. Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta mantan Kapolda Sumatera Barat itu dihukum mati atas perbuatannya mengedarkan narkotika.
Teddy Minahasa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah terlibat dalam peredaran narkotika jenis sabu, sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.
Meski lolos dari hukuman mati, Teddy masih tidak terima. Dia menggunakan hak hukumnya dengan mengajukan banding atas putusan hakim.
Advertisement
Lalu, seberapa besar peluang Teddy Minahasa lepas dari hukuman penjara seumur hidup di tingkat banding?
"Mengenai banding, kami serahkan kepada pihak JPU ataupun pihak kuasa hukum terdakwa," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid kepada Liputan6.com, Rabu (9/5/2023).
Usman menghormati putusan majelis hakim yang mengganjar hukuman penjara seumur hidup kepada Teddy Minahasa.
Menurut Usman, vonis yang diterima Teddy merupakan hukuman terberat dari perbuatan pelaku kejahatan. Sehingga, sudah tidak ada lagi hukuman yang lebih dari penjara seumur hidup.
"Pada intinya, Amnesty International tidak menolak penghukuman terhadap pelaku tindak kejahatan," kata Usman.
Namun, kata Usman, apa pun jenis kejahatannya, apa pun latar belakang identitas pelakunya, bentuk hukuman kepada mereka harus bebas dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya. Begitu juga dengan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat manusia.
"Bagi kami, selain tidak manusiawi, pemberian hukuman mati juga bukan solusi untuk memberikan efek jera dalam kasus narkotika," ucap Usman tegas.
Usman kemudian memberikan contoh pernyataan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen. Pol. Petrus Reinhard Golose pada Februari 2022.
Ketika itu, Petrus menyatakan bahwa prevalensi pengguna narkotika di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2021 menjadi 3,66 juta, sedangkan tahun 2019 sebanyak 3,41 juta.
"Hal ini menunjukkan bahwa asumsi (hukuman mati) menimbulkan efek jera, setidaknya untuk kasus narkotika, menjadi tidak terbukti," kata Usman.
Senada disampaikan Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Abraham Todo Napitupulu. Menurut Erasmus, vonis penjara seumur hidup yang diberikan kepada Teddy merupakan hukuman terberat yang pantas diterima pelaku kejahatan.
"Dari sisi ICJR, karena kami menolak hukuman mati dan tuntutannya adalah hukuman mati, kami dalam posisi tidak apresiasi (tuntutan jaksa). Dalam posisi pengadilan mau berikan hukuman tertinggi, ya hukuman seumur hidup sudah pas. Jangan lah pidana mati," ujar Erasmus kepada Liputan6.com.
Erasmus mengaku tidak heran dengan kasus narkoba yang menjerat Irjen Teddy Minahasa. Dia justru melihat, dalam kasus narkoba Teddy Minahasa ini ada persoalan lain yang jauh lebih serius dan harus segera ditangani.
"Yang kayak Pak Teddy Minahasa ini jangan-jangan banyak. Itu satu yang perlu dibongkar," ucap Erasmus.
"Coba cari kasus serupa, banyak. Kasus di mana aparat penegak hukum terlibat peredaran narkotika. Bukan hal yang mengherankan. Sampai sekarang kita enggak tahu bagaimana langkah pemerintah bereskan itu, langkah Kapolri," tuturnya.
Saat ini, pengawasan di internal sendiri sangat lemah. Sehingga, banyak oknum polisi yang bermain-main dengan narkoba.
"Betapa power yang besar di kepolisian enggak punya pengawasan. Jadi poinnya adalah kasus ini bukan sesuatu yang sangat mengherankan. Kita enggak kaget, kecewa pasti. Kita sedih melihat bagaimana sistem berjalan, tapi kita enggak ada yang kaget. Teman-teman sudah lama tahu bahwa permasalahan terbesar kita itu di institusi (Polri)," ujar Erasmus.
Kembali ke vonis Teddy Minahasa, bagi Erasmus, sudah tepat kalau hakim memberikan hukuman penjara seumur hidup.
"Kalau hakim mau menjatuhkan pidana paling tinggi, yang paling tepat seumur hidup. Itu menurut kami," kata Erasmus.
Pakar Hukum Pidana Nilai Teddy Minahasa Layak Dihukum Mati
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menilai Irjen Teddy Minahasa sangat layak dihukum mati. Menurut Azmi, jika saja hakim teliti dalam melihat fakta-fakta dan juga perbuatan Teddy yang dikategorikan sebagai kejahatan sistematis dan ditemukan banyak perbuatannya sebagai pemberat, maka sangat layak jenderal bintang dua itu divonis mati.
"Sayang sekali hakim kurang cermat dalam memerhatikan aspek-aspek karakteristik dan kasuistik dalam perkara ini terkait putusannya. Ini harus jadi poin penting bagi hakim, mengingat TM berpangkat jenderal, pimpinan penegakan hukum tertinggi di wilayahnya sebagai Kapolda Sumatera Barat, mengorbankan orang lain termasuk anak buahnya, perintahnya dilakukan dengan sengaja," ujar Azmi kepada Liputan6.com.
Ironisnya lagi, lanjut Azmi, kewenangan Teddy sebagai pejabat kepolisian yang sedang menjalankan tugas dijadikan modus, termasuk disalahgunakan untuk bertransaksi narkoba. Perbuatan Teddy nyata mencoreng nama baik instiusi kepolisian.Â
VIDEO: Sambo hingga Teddy Minahasa Mencoreng Citra Polisi, Saatnya Polri Berbenah Diri
"Sehingga dengan melihat segala aspek tersebut bahwa perbuatan pelaku adalah bentuk nyata kejahatan yang sistemik, maka dalam hukum pidana penangulangan kejahatan yang bersifat sistematik harus dikenakan hukuman mati. Kejahatan yang sudah sistemik dapat dimusnahkan dengan hukuman mati (asas crimina morte extinguuntur)," jelas Azmi.
Atas dasar itu, menurut Azmi, keputusan hakim ini akan menjadi preseden kurang baik dalam perkara narkoba di kemudian hari yang melibatkan pimpinan penegak hukum.
"Karena putusan ini kurang bermanfaat, tidak dapat dijadikan barometer di kemudian hari jika seorang pimpinan pejabat tinggi hukum terlibat transaksi narkoba yang sistematis hukumannnya juga masih bisa diterapkan tidak maksimal oleh hakim," kata Azmi.
Terkait upaya banding yang dilakukan Teddy, Azmi menilai, itu hak hukum bagi setiap terdakwa yang belum menerima putusan pengadilan negeri.
Namun, apa hasilnya, semua ada di tangan majelis hakim pengadilan tinggi. Semuanya terbuka, pengadilan tinggi dapat saja menguatkan atau mengubah putusan pengadilan negeri.
"Kuncinya, jika hakim pengadilan banding menemukan ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan, atau ada yang kurang lengkap dalam pemeriksaan pengadilan negeri, pilihannya dua, menguatkan atau mengubah," ujar Azmi.
Advertisement
Kejahatan Teddy Minahasa Lebih Bahaya Ketimbang Ferdy Sambo
Kekecewaan atas vonis seumur hidup Irjen Teddy Minahasa juga dirasakan warganet. Menurut mereka, vonis seumur hidup yang diberikan hakim sangat tidak sesuai mengingat peran Teddy Minahasa yang dianggap sebagai bandar tingkat atas.
"Bayangin, bandar yang kedapatan punya di bawah 100 kg aja dihukum mati, lah ini ngelepasin ton-tonan sabu malah cuma seumur hidup," kata pemilik akun @vik***.
Lebih lanjut, pengguna dengan akun @6zh*** mengatakan vonis ini lucu. Apalagi Teddy Minahasa telah mencuri barang bukti dari kepolisian yang jumlahnya cukup banyak, tapi vonisnya hanya penjara seumur hidup. Seharusnya dihukum mati.Â
"Lucu banget, padahal dia bandar tingkat atas curi barbuk dari kepolisian yang jumlahnya berton-ton, masa seumur hidup, sedangkan bandar yang lain dihukum mati, duit emang sakti," kicau pemilik akun tersebut.
Pengguna dengan akun @asn*** mengatakan, karena kasus ini kurang viral, hukumannya jadi kurang maksimal.
Sementara, pengguna dengan akun @ran*** menyebut, hukuman seumur hidup mungkin saja membuat Teddy Minahasa bertaubat. "Bisa aja dia tobat sebelum mati kan? Gak ada yang tau di akhirat gimana," katanya.
Lalu, pengguna Twitter lainnya menyebut kejahatan yang dilakukan Teddy Minahasa lebih berbahaya daripada yang dilakukan Ferdy Sambo.
"Kejahatan teddy ini lebih bahaya dari pada sambo......kok bisa cuman se umur hidup...dg alasan meringankan belum pernah di tahan dan banyak prestasi...sambo juga kan banyak prestasi..anehh," kicau pemilik akun @mr_f***.
Diketahui, mantan Kadiv Propam Polri itu divonis mati karena menjadi otak pembunuhan terhadap anak buahnya sendiri, Brigadir Joshua. Ferdy Sambo membuat skenario seakan-akan Brigadir J tewas karena aksi saling tembak dengan anak buahnya yang lain, Bharada Rizhard Eliezer.
Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta telah menggelar sidang putusan banding terhadap terdakwa Ferdy Sambo, Rabu 12 April 2023. Dalam putusannya, sidang yang diketuai Hakim Singgih Budi Prakoso dan beranggotakan empat orang ini menolak banding Ferdy Sambo.
Artinya, Ferdy Sambo tetap dihukum mati atas kasus pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Kini tinggal satu langkah lagi bagi Ferdy Sambo untuk menggunakan jalur hukum agar vonis mati yang diterima dapat berubah. Suami dari Putri Candrawathi itu bisa menempuhnya melalui pengajuan kasasi di Mahkamah Agung (MA). HEADLINE: Pengadilan Tinggi Tolak Banding Ferdy Sambo Cs, Bagaimana Peluang Menang Kasasi di MA?
Teddy Minahasa akan Berjuang Cari Keringanan Hukuman
Kuasa hukum Teddy Minahasa, Hotman Paris, memastikan akan mengajukan banding atas vonis penjara seumur hidup kepada kliennya dalam kasus peredaran narkoba.
Putusan vonis penjara seumur hidup terhadap Irjen Teddy Minahasa itu dibacakan langsung oleh ketua majelis hakim Jon Sarman Saragih di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Selasa (9/5/2023).
"Setelah sidang putusan vonis tadi menyatakan Teddy Minahasa dituntut penjara seumur hidup, Teddy meminta untuk ajukan banding," ujar Hotman saat ditemui pers usai sidang vonis.
Pengacara nyentrik itu berjanji akan terus berupaya mencari keringanan hukuman bagi kliennya hingga ke level kasasi bahkan jika dibutuhkan PK alias peninjauan kembali.
"Kita tegas tidak akan berhenti sampai di sini. Masih ada banding, kasasi dan PK nantinya," kata Hotman.
Vonis hakim terhadap Teddy Minahasa lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Jaksa menuntut jenderal bintang dua tersebut dengan pidana hukuman mati. Teddy diyakini jaksa bersalah melakukan tindak pidana peredaran narkotika jenis sabu.
Irjen Teddy Minahasa dianggap melanggar Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP.
"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan secara tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, menjadi perantara dalam jual beli, menukar dan menyerahkan Narkotika Golongan I bukan tanaman, yang beratnya lebih dari 5 (lima) gram."
Dalam duduk perkaranya, Teddy turut memberikan perintah kepada bawahannya, eks Kapolres Buktitinggi, AKBP Dody Prawiranegara untuk menyisihkan sabu-sabu sebanyak 10 kilogram dari hasil pengungkapan kasus narkoba. Namun setelahnya, Dody hanya mampu menyisihkan 5 kilogram saja.
Usai disisihkan, Dody diperintah untuk menjual barang haram itu kepada seorang kenalan atasannya Linda Pujiastuti alias Anita dengan harga yang sudah di sepakati. Alhasil, Dody pun membawa sabu-sabu itu dari Bukittinggi ke Jakarta ditemani oleh Syamsul Ma'arif untuk melakukan transaksi dengan Linda.
Jual beli barang haram itu pun terhendus oleh pihak kepolisian dengan menyasar penangkapan mulai dari Linda hingga akhirnya menyeret jenderal bintang dua, Teddy Minahasa.
Eks Kapolda Sumbar tersebut didakwa bersama-sama melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan secara tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, menjadi perantara dalam jual beli, menukar dan menyerahkan narkotika jenis sabu-sabu.
Â
Advertisement